Perjalanan ke Pesisir : Melayani Masyarakat dan Diri Sendiri
(Seri kedua : Catatan Perjalanan Miskan, Staf Humas YPMAK)
Pada tulisan sebelumnya Membelah Lautan Untuk Memberdayakan diceritakan tentang perjalanan menuju kampung-kampung pesisir mimika. Catatan kali ini mencerita suka dan duka saat pelaksanaan program di kampung-kampung pesisir.
Salahsatu tantangan Yayasan Pemberdayaan masyarakat Amungme dan Kamoro dalam melaksanakan program pemberdayaan yaitu wilayah atau medan yang sulit. Untuk dataran tinggi hanya dapat dijangkau dengan transportasi udara (helicopter) lalu antar kampung satu dan lainnya harus naik gunung dan menuruni lembah.
Sementara kampung-kampung di pesisir tidak semua dapat dijangkau dengan transportasi udara (pesawat perintis), kebanyakan menggunakan transportasi laut. Untuk menuju wilayah pesisir disesuaikan dengan kondisi cuaca dan mengikuti tabel air. Saat air naik baru bisa berangkat, entah jam berapapun, tengah malam, dini hari, siang hari atau sore hari.
Perjalanan kali ini kami akan melakukan pembentukan Pokja Program Kampung Pesisir wilayah barat dari Potowaiburu hingga Kampung Uta. Program Kampung YPMAK pendanaannya bersumber dari Dana Kemitraan PT Freeport Indonesia.
Tim ini terdiri dari : Kepala Divisi Program YPMAK, Fransiskus Wanmang, Staf Program Ekonomi, Irma Siep, Febri Sianipar, Julius Tsenawatme dan Dwi Iksan serta Staf Humas, Miskan, dua orang jurnalis Marsel, Tribun Papua dan Aji dari Seputar Papua.
Selama dalam melaksanakan tugas di kampung pesisir, bukan hanya melaksanakan kegiatan kantor tapi sebelum itu, kami menyiapkan kebutuhan makan dan minum sendiri.
Sebelum pertemuan dengan masyarakat, kami membagi tugas untuk menyiapkan makanan atau membersihkan peralatan masak serta peralatan makan yang kotor.
Ada yang bertugas membersihkan dan memotong sayur, mengupas bumbu serta menggiling bumbu. Ada pula yang bertugas memasak sayur dan lauk pauk, Sementara kru kapal ada yang memasak nasi, membersihkan ikan dan mencuci peralatan masak, sendok, piring dan gelas.
Hampir setiap pagi dan sore kami memasak, di kampung tak ada layanan atau jasa memasak, semua dikerjakan sendiri. Untuk malam hari, kami menyewa rumah masyarakat untuk beristirahat.
Akan tetapi kadang-kadang jika air di muara surut, kapal tidak bisa keluar untuk menjangkau kampung selanjutnya, kami tidur di kapal atau tidur diatas pasir dan memasaknya pun di dalam kapal.
Kita harus bisa menyesuaikan dengan keadaan, ada yang tidur di dalam kapal, di dalam palka, di haluan kapal dan ada pula yang tidur diatas kapal beratapkan langit malam.
Setiap orang mempersiapkan perlengkapan tidurnya sendiri, ada yang membawa sleepingbag, selimut tebal, jaket, bantal kecil dan tikar. Bunyi riak air dan dinginnya angin menemani kami tidur di malam hari.
Jika hujan tiba dan kapal berlabuh di muara yang tidak ada rumah penduduk, maka kami memaksimalkan kapal untuk beristirahat.
Aktifitas tidur kami lalui, dilanjutkan dengan masak memasak pada pagi hari, setelah itu baru kami melaksanakan pertemuan dengan masyarakat untuk pembentukan kelompok kerja Program Kampung YPMAK.
Mandi dibawah pohon kelapa
Tidak semua rumah yang kami sewa memiliki kamar mandi atau sumur, sementara air hujan belum tentu ada. Untuk urusan mandi cuci dan kakus (MCK) kami menggunakan sumur dan toilet umum dikampung.
Jika rumah warga dekat dengan sungai, kami mandi di toilet kapal atau di buritan kapal dekat mesin dengan menimba air sungai.
Suatu hari ketika kami berlabuh di muara Umar Arerau, ada sebuah sumur gali diantara pohon kelapa. Ketika malam tiba, kami beramai-ramai menuju sumur itu untuk mandi. Secara bergantian kami menimba air dan mandi tepat dibawah pohon kelapa di kegelapan malam.
Tidak ada pilihan memang, tetapi kami menjalaninya dengan penuh sukacita.
Mencuci
Selain jadi tempat mandi, buritan kapal juga menjadi tempat mencuci, entah pakaian, peralatan masak, peralatan makan atau membersihkan ikan. Selain itu, juga menjadi tempat favorit menggantung pakaian basah.
Berjalan Kaki
Untuk menjangkau kampung sasaran program, jika air sungai naik maka bisa ditempuh dengan kapal besar, namun jika air surut maka kami menyewa perahu kecil milik masyarakat menyusuri sungai menuju ke kampung sasaran program.
Untuk kampung-kampung yang jauh dari pinggir sungai, kami menjangkau dengan berjalan kaki. Seperti Kampung Kapiraya, perahu hanya sampai di pelabuhan logpond karena pada saat itu air sungai sedang surut, selanjutnya kami berjalan menuju Kapiraya sejauh 5 kilometer.
Perjalanan di kampung dibutuhkan kondisi badan yang sehat, aktifitas fisik sangat sering dilakukan. Selain itu juga perlu keberanian dalam mengarungi lautan dan harus rela sementara waktu kehilangan kontak dengan keluarga karena tidak semua kampung ada jaringan komunikasi.
Kami melayani masyarakat dalam pelaksanaan Program Kampung di Pesisir Mimika. Namun bukan itu saja, tak hanya melayani kami pun melayani diri sendiri memenuhi kebutuhan makan minum untuk menunjang pelaksanaan program.
Lelah menjalankan tugas, sedikit dihibur oleh indahnya alam, hijaunya pohon bakau, birunya langit dan segarnya udara.
Rintangan yang kami hadapi selama di perjalanan atau di kampung-kampung bukan menjadi penghalang bagi kami dalam melaksanakan program. (*)
Post Comment